Ini dunia, ketika kami harus berbicara... Ini dunia, ketika kami harus mengungkapkan apa yang kini tengah terpendam... Dan ini dunia, ketika kami harus membela kebebasan kami, sebagai manusia ciptaan Allah Subhanallah Wata'ala....
Sabtu, 30 Juli 2011
GUGAT SEKULARISME: Jihad atau Jahiliyah?
Definisi sebenarnya dalam tatanan demokrasi adalah sistem pemerintahan yang mengedepankan rakyat sebagai partisipan dalam pemerintahan negara. Namun saat ini pengaplikasian paham ini ke dalam praktik pemerintahan menimbulkan tanda tanya besar, dimana definisi tidak beriringan dengan implemntasinya. Krisis di dunia Arab saat ini merupakan cermin dimana hak- hak rakyat masih kalah dengan kekuatan militer dan keangkuhan pemimpin. Namun yang dibutuhkan saat ini dalah sikap negara- negara penganut demokrasi ataupun yang sedang dalam masa transisi ke arah demokrasi, termasuk Indonesia dan Maroko, untuk melakukan penelaahan kembali sistem ideal ini dalam tataran praktik pemerintahan.
Paham ideal
Sejak Indonesia merebut aroma kemerdekaan, Negara ini pun telah menjajal berbagai sistem demokrasi diantaranya demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin dan saat bernama demokrasi pancasila. Di kawan Maghreb di Afrika Utara, dimana Maroko tegak berdiri dengan Monarkhi Konstitutionalnya pun saat ini mulai menggandrungi paham demokrasi lewat pernyataan Latifa Akherbach yang mengemukakan bahwa Maroko ingin belajar demokrasi dari Indonesia( Republika,22/06/2010). Hal ini senada dengan tuturan Mohamed Majdi, Duta Besar Maroko untuk Indonesia, yang mengatakan bahwa Maroko berkomitmen untuk nilai- nilai universal yang salah satunya adalah demokrasi(pewarta-indonesia.com 10/03/2011).
Seperti layaknya revolusi yang bergejolak di dunia Arab, Indonesia dan Maroko pun pernah mengalami getaran politik dalam menggapai demokrasi. Indonesia mengawali reformasi setelah dikekang oleh rezim Soeharto selama 6,4 periode yang juga sama- sama menumbangkan banyak korban pada tahun 1998. Berbeda dengan Indonesia, Maroko berbenah dalam politik disebabkan ketertuntutan penguasa untuk memproklamirkan reformasi konstitusi tetapi tidak dijembatani oleh aksi demonstran radikal. Raja Mohamed VI menjawab aspirasi rakyat dengan mengumumkan reformasi konstitusi yang komprehensif pada tanggal 9 Maret 2011, namun berbalik sisi dengan Indonesia yang mengalami perguliran kekuasaan dengan peristiwa empat kali ganti presiden selama kurun tahun 1998-2002 sampai akhirnya Indonesia menerapkan makna demokrasi sejati pada tahun 2004 dengan peristiwa pesta demokrasi pertama yaitu pemilihan umum presiden dan legislatif.
Keberhasilan pemilihan umum di Indonesia tahun 2004 dan tahun 2009, merupakan tolak ukur Indonesia dijadikan negara demokrasi terbesar ketiga dunia dan kiblat negara- negara di Asia dalam penerapan demokrasi dalam pemerintahan. Berbagai forum nasional maupun internasional termasuk Asosiasi Konsultan Politik Asia Pasifik(APAPC) pun mengemukakan bahwa Indonesia telah menuai prestasi besar dalam pengentasan skeptisme demokrasi di Indonesia. Nada sama pun meluncur kepada Indonesia yang dianggap sebagai “ Jawara demokrasi” dengan mengedepankan julukan “ Indonesia’s shining muslim democracy” sebagai basis pernyataan bahwa Indonesia telah menyukseskan demokrasi sebagai kiblat pemerintahan. Negara- negara lain termasuk Negeri Seribu Benteng Maroko¾ yang notabene letaknya berjauhan dengan Indonesia pun menilai Indonesia bisa dijadikan guru yang baik dalam pengikatan demokrasi, islam dan modernitas menjadi satu wadah kesatuan. Atas dasar inilah, Maroko menggandeng Indonesia untuk menjadi partner dalam menghadapi tantangan dan krisis global serta peningkatan Islamphobia.
Lemah sistem atau manusianya?
Tak ada gading yang tak retak dan sama halnya dengan sistem demokrasi ini. Dalam upaya implementasinya pun, sistem demokrasi di Indonesia dan Maroko mengalami pasang surut yang kadang menimbulkan goncangan hebat. Di Indonesia, timbulnya pemusatan kekuasaan di tangan pemerintah, serta lemahnya pengawasan rakyat, menciptakan aroma sekularisme di kalangan mereka. Fakta aktual di sepanjang tahun 2010 saja sebnyak 63 % dari 244 kepala daerah¾ yang notabene dipilih secara demokratis¾ bahkan langsung tersandung kasus korupsi( Vivanews.com 17/01/2011). Bukan hanya di jajaran eksekutif tetapi di kalangan legislatif dan yudikatif pun nimbrung sebagai partisipan dalm pencanangan nama Indonesia di angka 110 dari 180 negara dalam Corruption Perceptions Index(CPI). Di Maroko pun tak mengherankan bagaimana korupsi telah menjadi endemi seperti yang diungkapkan Taher Ben Jelloun, sastrawan terkemuka Maroko, yang memaparkan kondisi Maroko pasca kemerdekaan dimana korupsi telah merakyat di negeri itu melalui bukunya yang berjudul Korupsi. Dan menariknya, Taher menyusun bukunya itu pun terinspirasi dari penulis Indonesia Pramoedya Ananta Toer yang juga mengungkapkan praktik korupsi di Indonesia. Dari realita ini, bisa kita simpulkan bahwa fakta menusuk di kedua negara ini memang bukan hal yang “ wah“ lagi.
Dari sini telah terlihat bagaimana penerapan dari demokrasi memiliki kelemahan. Sistem yang seharusnya menggencet fenomena korupsi tetapi malah mempersubur dengan berbagai macam tetek bengek seperti politik uang dan telah banyak menciptakan kebohongan rezim. Makna akhirnya berarti pemerintah sebagai dalang pemerintahan yang terjebak ataupun ingin dijebak dalam kekuasaan sehingga terbuai untuk melakukan tindak sekular atau pemisahan soal moralitas dengan agama¾ yang salah satunya seperti terpapar di atas. Dari sini pulalah, tak heran jika banyak negara terutama di dunia Arab bergejolak karena para demonstran menggugat rezim yang penuh dengan aksi premanisme dalam pemerintahan.
Bangkit dengan jihad
Demokrasi memang tengah menuangkan keganjilan dalam tataran sejarah politik dunia. Namun bukan berarti demokrasi adalah sistem yang salah. Dari sini hanya perlu upaya untuk menyikapi demokrasi sebagai sistem politik yang dapat diboyong sebagi basis kerjasama berkesinambungan seperti Indonesia dan Maroko yang telah mantap melenggang melampaui batas keemasan.
Perlu diingat bagaimana Indonesia dan Maroko membangun benteng diplomasi sejak setengah abad lalu dimana dubes Nazir Pamontjak menyerahkan surat kredensial kepada Raja Mohamed V pada tanggal 19 April 1960. Dubes Nazir pun menjadi tokoh dalam persiapan kunjungan Presiden Soekarno sebagai kunjungan kepala negara pertama di Maroko pada tanggal 2 Mei 1960. Dari catatan historis inilah, Indonesia menggandeng Maroko dalam bentuk diplomasi politik berkelanjutan sampat saat ini.
Hubungan diplomatik yang masih hangat ini, tak cukup jika hanya sebagai kawan pertukaran kunjungan parlemen untuk memberikan dukungan terhadap inisiatif pemerintah seperti dalam kasus isu separatisme Sahara Barat atau hanya sebagai sesama anggota dari organisasi internasional PBB, OKI atau Kelompok 77. Tak cukup jika hanya menandatangani kerjasama Komite Bersama Bilateral atau mantap mengambil peran dalam menengahkan konflik Israel- Palestina melalui Komite Jerusalem tetapi juga patut dalam menumbuhkan jihad politik untuk menangani problema baik dalam negeri maupun internasional.
Esensi jihad dalam konteks ini condong ke arah makna perjuangan menyampaikan dakwah Islam “bil siyasah” atau lewat politik. Dalam masa pergolakan di dunia Arab dan dalam masa pembelajaran esensi demokrasi, Indonesia dan Maroko membutuhkan langkah ke depan untuk memperkuat diplomatik dan tidak salah jika suatu saat Indonesia dan Maroko menjadi pelopor Organisasi Internasional Negara Muslim Demokrasi atau International Organization of Moslem Countries Democracy ( IOMCD) yang sama berhasilnya dengan Konferensi Asia Afrika tahun 1995 yang sukses memerdekakan Maroko dari imperialisme Prancis.
Organisasi ini bisa mengambil peran sebgai penengah dalam konflik di dunia Arab dengan meletakkan demokrasi yang mengadopsi politik Islam sebagai jembatan untuk meloloskan negara dari keotoriteran. Organisasi ini pun dapat menangani persoalan dalam negeri dalam pengentasan kasus penyelewengan kekuasaan seperti korupsi yang merupakan tindak sekular warisan jahiliyah imperialis.
Kesepakatan adalah satu poin untuk menuai langkah maju ini dimana Indonesia dan Maroko merupakan negara dengan penduduk mayoritas muslim harus punya kemauan untuk menggugat sekularitas dalam pemerintahan guna menjembatani bidang- bidang lain agar sejalan. Dalam memantapkan kolaborasi ini, Indonesia dan Maroko harus mengimplemetasikan jihad politik berkesinambungan untuk masa yang akan datang.
Sumber Resensi :
1. http://nasional.vivanews.com/news/read/199697-gamawan--155-kepala-daerah-tersangka-korupsi
2. http://www.pewarta-indonesia.com/kolom-pewarta/indonesia-maroko/5344-melawan-imperialisme-modern-51m.html
3. http://www.antaranews.com/berita/1277171547/maroko-ingin-belajar-demokrasi-dan-islam-dari-indonesia
4. http://www.pewarta-indonesia.com/kolom-pewarta/indonesia-maroko/4914-berangkat-dari-hubungan-historis-menuju-hubungan-bilateral-yang-strategis-7m.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar