Sabtu, 30 Juli 2011

harmoni-dalam-budaya-angklung-indonesia-untuk-maroko

| Oleh : bayu prakoso | PDF | Cetak | EmailPendahuluan
KOPI, Angklung, siapa yang tidak mengenal alat musik bambu satu ini. Seletah diinagurasi oleh UNESCO pada 18 November 2010, kepopuleran angklung semakin meningkat. Tapi sedikit orang yang tahu ternyata alat musik ini dulunya hanya digunakan sebagai alat musik pengamen, dan bunyi-bunyian atau hurap-hurip dalam menyambut acara panen padi masyarakat Sunda dan Baduy, dan nyaris saja punah ketika kompeni Belanda mulai menduduki Tanah Jawa.
Di balik sejarahnya yang begitu kompleks, ternyata tidak sedikit pengaruh angklung dalam mewujudkan perdamaian dunia dan persahabatan negara-negara tetangga sekitar nusantara. Menurut catatan sejarah, saat kompeni Belanda menduduki Indonesia dan permainan angklung sangat dilarang waktu itu, bertepatan dengan tahun lahirnya Daeng Soetigna (beliau lahir di Garut, 13 Mei 1908, atas jasa dan baktinya dalam inovasi angklung dengan menciptakan angklung bertangga nada diatonis modern, pada tahun 1938 beliau mendapat julukan Bapak Maestro Angklung Indonesia), 1908 adalah tahun dimana tim kebudayaan Indonesia melakukan muhibah kebudayaan keliling Thailand selama 7 tahun (1908-1915) untuk memerkenalkan angklung dan mempromosikan kebudayaan Indonesia. Angklung juga digunakan untuk menetralkan kembali hubungan Indonesia dan Malaysia setelah konfrontansi pemisahan wilayah Kalimantan Utara atau Borneo Utara menjadi beberapa wilayah bagian Malaysia Timur dan Brunei Darussalam pada tahun 1967.
Berawal dari Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika 1955
Artikel ini tidak sekedar membahas pelajaran tentang angklung dan deskripsi singkat sejarahnya saja. Pada Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika 18-24 April 1955 di Gedung Asia Afrika Bandung, angklung ditampilkan untuk menghibur rekan-rekan lawatan konferensi ini. Siapa sangka, para lawatan konferensi dari seluruh negara penandatangan Konferensi Asia dan Afrika terpukau dengan aksi permainan angklung yang sangat aktraktif. Terlepas dari tujuan utama untuk mencari jalan terang memerdekakan negara-negara se-Asia Afrika yang masih dalam belenggu kolonialisme dan neokolonialisme penjajah.
Angklung memaikan peran penting. Ide dan kreasi baru tercipta dari sekedar bunyi-bunyian biasa yang mengeluarkan harmoni, menjadi satu-satunya alat musik perdamaian dunia yang masih dapat digunakan untuk sekedar menghibur pemimpin–pemimpin negara yang masih dalam simalakama pertempuran, kematian warga negaranya, diskriminasi dan kejahatan genosida yang tidak dapat dibela, musnahnya satu generasi dan peradaban kebudayaan karena hilangnya berjuta nyawa penduduknya. Nampak sederhana dan tidak berlebih-lebihan memang dalam memberikan hiburan bagi para memimpin negara, dari sekedar alat musik berbahan baku bambu, di saat sebagian besar negara masih dalam belenggu dan masa krisis akibat penjajahan. Namun inilah angklung, alat musik kebudayaan, pendidikan, perdamaian, dan persahabatan yang cocok dibawakan dalam dimensi apapun.
Harmoni dalam Budaya : Angklung Indonesia untuk Maroko
Analogi ini menciptakan pemikiran-pemikiran baru bagaimana cara merefresh kembali hubungan bilateral antara Indonesia dan Maroko. Bukan melalui politik atau sejenisnya, namun menggunakan sesuatu benda yang bagi sebagian kalangan dianggap kuno dan tidak mungkin. Hampir 56 tahun setelah reformasi Bandung Charter atau Piagam Bandung di KTT Asia Afrika 1955, dan hampir 51 tahun hubungan bilateral Indonesia Maroko tercipta, tampaknya terkesan biasa-biasa saja jika hubungan harmonis kedua negara ini tidak diliput dengan sebuah aksi moral globalism. Tentu kita bertanya-tanya, bagaimana cara meliput berita yang terkesan menarik dari sebuah hubungan diplomasi? Jawabnya tentu dengan sebuah kegiatan positif. Lalu muncul pertanyaan baru seperti apa kegiatan tersebut?
Udjo Ngalagena, pendiri Saung Angklung Udjo di Bandung, mengemas angklung dengan cara sederhana, namun terlihat menarik dan interaktif. Sebuah angklung yang dimainkan oleh satu orang mungkin akan menghasilkan satu nada saja. Tetapi tidak bagi Udjo. Ia menghadirkan angklung-angklung baru dalam jumlah yang banyak agar bisa dimainkan oleh banyak orang pula. Sebab itulah, angklung sangat mudah menciptakan harmonisasi antara nada, irama, dengan pemain angklungnya. Cara ini yang bisa kita hadirkan dalam persahabatan kedua Negara Indonesia dan Maroko, yaitu angklung interaktif masal seperti yang dilakukan di Saung Angklung Udjo atau dengan memberikan pengajaran singkat mengenai angklung.
Dari bermain lagu menggunakan sebuah partitur notasi nada ataupun dipimpin oleh seorang konduktor yang piawai memimpin lagu, para pemain angklung tetap membutuhkan kesabaran, kekompakan, kerja sama, saling mengingatkan jika ada nada yang tertinggal dari rekan yang lupa membunyikan nada, hingga terciptanya interaksi yang baik sesama pemain angklung. Ide-ide sederhana tersebut memberikan manufer jitu dalam mengembangkan keutuhan persahabatan diplomasi Indonesia dan Maroko.
Menularkan Semangat Angklung Indonesia bagi Pendidikan Anak-Anak di Maroko
Surat Kepurusan (SK) Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, tertanggal 23 Agustus 1968, No. 082/1968 tertanda tangan Soemantri Hardjoprakosa,[1] menyebutkan angklung sebagai alat musik pendidikan, membuat alat musik ini masuk dalam kurikulum pendidikan bidang seni bagi anak dari jenjang pendidikan dasar, menengah, hingga perguruan tinggi sejak tahun 1968. Inagurasi angklung oleh UNESCO sebagai "Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity" atau budaya tak benda warisan dunia untuk kemanusiaan yang berasal dari Indonesia pada Kamis, 18 November 2010 di Nairobi Kenya, membuat angklung dapat digunakan semua negara di seluruh belahan dunia untuk menunjang aksi kemanusiaan, termasuk bagi pengembangan pendidikan.
Kebijakan yang diberikan UNESCO menjadi kelebihan Indonesia karena dapat memfasilitasi dan mengembangkan pendidikan angklung sebagai musik pendidikan di negara-negara diplomatiknya, termasuk memberikan pelajaran dan semangat berharga kepada anak-anak di Negara Maroko.
Bagi sebagian besar anak, bermain alat musik goyang ini mungkin tidak tersirat dalam pikiran meraka. Namun ketika mereka baru memegang angklung ataupun sekedar mencoba membunyikannya, pasti tumbuh keinginan untuk mengetahui alat musik ini lebih dalam, dan rasa penasaran “bagaimana jika sebuah lagu tercipta dan aku salah satu yang bermain lagu itu.” Rasa yang tersirat dalam diri mereka adalah kebanggaan dan kepuasan hati jika dapat memainkan sebuah lagu dengan kekompakan yang hakiki. Karena itu, alat musik angklung sangat cocok dijadikan instrumen pendidikan yang dapat membentuk karakter anak, membentuk sikap percaya diri, berkemauan keras, dan siap membuka diri untuk kemajuan ke arah yang lebih baik.
Angklung Alat Musik yang dapat Berfilsafat bagi Kemajuan Kaum dan Negeri
Dalam filosofi masyarakat Sunda yang masih memegang teguh adat lama, sebelum menanam padi dilakukan ritual Seren Taun, di mana angklung digunakan untuk mengiringi pemanenan dan penanaman kembali padi masyarakat di ladang. Bunyi-bunyian dari “klung-klung-klung…” dipercaya dapat memberikan padi yang subur dengan hasil panen berlimpah. Kepercayaan animisme ini memang terkesan kuno di era globalisasi saat ini. Tapi filosofi semacam ini, walau terkesan kuno tetap berlaku bagi hubungan diplomatik Indonesia dan Maroko.
KTT Asia Afrika 1955 yang diawali dengan angklung, bisa diibaratkan seperti melakukan upacara Seren Taun, namun ini bukan untuk menanam padi, melainkan untuk menanam benih persahabatan terbaik dalam memulai kerjasama dan diplomasi. Suguhan musik angklung yang harmoni dalam sentuhan budaya Indonesia, mencerminkan sebuah negeri yang memiliki selera tinggi namun tetap mematuhi garis batas etika keadaan. Itulah yang menjadi daya tarik salah satu negara di bagian Baratlaut Afrika ini untuk menjalin tali persahabatan diplomatik dengan Indonesia.
Kesamaan nasib dan keadaan di masa lalu membuat Indonesia dan Maroko bersama-sama bangkit menuju keadaan yang terbaik. Kini setelah bangkit dan merdeka, kedua negara bersahabat ini membutuhkan aksi nyata yang prospektif dalam mengisi kemerdekaan dan hubungan harmonisnya. Melalui angklung Indonesia, harmoni dalam budaya diboyong bersama hubungan diplomatik. Apalagi kalau bukan untuk memajukan keharmonisan kaum dan negeri Indonesia dan Maroko di masa yang akan datang.
Sumber Referensi
Syafii, Sulhan. 2009. Udjo: Diplomasi Angklung. Jakarta: Penerbit PT Grasindo.
Majalah GATRA, Jakarta, edisi khusus 17 Agustus 2010 No.40 tahun XVI, 12-18 Agustus 2010 dalam “Musik Bambu Masa Pra-Hindu” hal.32-33.
http://m.antaranews.com, dalam: “Angklung Dikukuhkan UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia”, edisi: Selasa, 16 November 2010.
http:// www.sahabatmaroko.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar