Mengabaikan HAM bukan saja berakibat pada diperkosanya hak-hak seseorang/masyarakat, tetapi juga dapat menggoyahkan sendi-sendi moral dan keadilan. Bila dampak semacam ini dibiarkan dan tidak cepat ditangani secara baik, akan dapat menimbulkan anarkisme-anarkisme yang menjadi sumber kekacauan negara. Lihatlah bagaimana negara Prancis, di saat rakyatnya merasa tidak sabar atas diperkosanya hak-hak mereka sehingga meletusnya revolusi Prancis yang paling berdarah. Hasilnya, lahirlah asas HAM yang sangat terinci di Eropa pada waktu itu.
Karenanya, penegakan HAM sangat dibutuhkan di masing-masing negara untuk melindungi hak-hak kodrati yang telah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Strategi dan teknik penegakan HAM dalam suatu negara tergantung dari bagaimana negara/pemerintah dan masyarakat memahami arti dan hakikat dari HAM itu sendiri, seperti salah satu contoh yang dilakukan oleh negara Indonesia dan Maroko.
Penegakan HAM di Indonesia
Ketika gaung reformasi melanda Indonesia, semua orang pada kaget dan berteriak menuntut hak asasi. Kini, keinginan untuk memperoleh hak-hak tersebut telah dinikmati oleh sebagain besar masyarakat di negeri ini. Sayangnya, sering orang-orang salah mengartikan kebebasan sehingga kebablasan dalam bertindak dan bertingkah laku. Banyak terdengar isu-isu HAM yang oleh sebagian orang menggunakan untuk kepentingan politik dan kelompok, sehingga kalimat-kalimat HAM mulai diplesetkan sesuai dengan kepentingan masing-masing. Hasilnya, saling menuduh atas pelanggaran HAM, padahal yang menuduh dan tertuduh ternyata sama-sama melanggar HAM.
Tengoklah beberapa contoh konkrit yang pernah dimuat di media massa (Republika,22/11-2006), misalnya sebuah lelucuan muncul dari orang-orang yang mengatasnamakan pejuang-pejuang HAM. Mereka mensinyalir 13 orang aktivis prodemokrasi yang hilang pada 1997-1998 masih belum meninggal dan dalam penyiksaan, sehingga meminta DPR mendesak Presiden SBY dan jajarannya untuk mengembalikan ke 13 aktivis tersebut. Inikan lucu, bagaimana SBY mau melepaskan mereka yang ia sendiri tidak tahu di mana rimbanya orang-orang tersebut. “Saya minta Komnas HAM tidak hanya menjadi pemadam kebakaran,” ujar salah seorang anggota Komisi III DPR, Jusuf Effendi, dalam mempertanyakan keberanian Komnas HAM dalam mengungkap kasus penyiksaan terhadap beberapa aktivis (Republika,23/11-2006).
Dalam lembaga peradilan pun terlihat oknum-oknum penegakan hukum yang semula menyuarakan HAM justru terlibat dalam mafia peradilan. Keadilan sebatas retorika dan milik orang-orang tertentu. Masyarakat lemah semakin enggan ke pengadilan karena harapan memperoleh kadilan sukar ditemukan.
Tengok pula kasus IPDN, saat kasus ini terkuak banyak mahasiswa di berbagai perguruan tinggi turun ke jalan dan mendemo sambil berteriak. “Tutup dan bubarkan IPDN, IPDN = Institut Preman Dalam Negeri, Institut Perbudakan Dalam Negeri,” Bahkan membakar antribut IPDN, memblokir jalanan sehingga pengguna jalan tidak bisa lewat, terjadi kemacetan mengakibatkan orang lain kepanasan dan kehujanan (Fajar, 10/4-2007). Mereka tidak sadar meneriaki orang lain sebagai pelanggar HAM padahal mereka sendiri juga pelanggar HAM, ternyata maling teriak maling.
Masih banyak lagi kasus lain, yang sekadar berteriak mengatakan “seharusnya” begini dan begitu, tapi tidak pernah memikirkan “seharusnya” begini dan begitu menurut orang lain. Misalnya masalah lapindo, penggusuran warga, kemiskinan (pangan, pekerjaan, kebijakan pemerintah, petani/nelayan), kebijakan anggaran untuk HAM, kasus Ahmadiyah, dan lain-lain, yang menurut laporan HAM banyak terjadi pelanggaran.
“Wahai orang yang berakal dan sadar, tempatkan segala sesuatu sesuai dengan ukurannya. Jangan membesar-besarkan peristiwa dan masalah yang ada. Bersikaplah secara adil, seimbang dan jangan berlebihan. Jangan pula larut dalam bayang-bayang semu dan fatamorgana yang menipu!”. Demikian kata bijak dari ‘Aidh al-Qarni.
Penegakan HAM di Maroko
Maroko merupakan sebuah negara di Timur Tengah yang menjunjung tinggi HAM, namun hal tersebut tidak serta merta melepaskan negara ini dari gejolak revolusi pemerintahan oleh rakyatnya. Akan tetapi tuntutan rakyat Maroko bukanlah keinginan agar pemimpin mereka lengser dari jabatannya seperti yang dialami negara Arab lainnya. Selain itu intervensi pihak keamanan dalam gejolak tersebut juga tidak terlihat. Yang mereka inginkan adalah revormasi protokol di pemerintahan kerajaan mereka.
Peristiwa menarik yang harus dipelajari dari Maroko karena protes terhadap pemerintah merupakan hal tabu di maroko. Protes ini kemudian disambut dengan antusias oleh raja maroko H.M Muhammed IV yang kemudian melakukan reformasi konstitusi demi mengabdikan kebebasan individu dan HAM yang lebih merata di negaranya.
Ahir-ahir ini penegakan HAM di Maroko mendapat sambutan positif dari presiden Amerika Serikat, Barak Obama, yang mengatakan, reformasi konstitusi yang dilakukan pemerintah Maroko merupakan sebuah reformasi penuh arti.
Patut diakui, negara maroko dari sejak dulu berhasil dalam penegakan HAM. Hal ini terlihat dengan lahirnya Deklarasi Universal HAM (UDHR) pada saat Raja Muhammad VI naik tahta. Semua keputusan yang diambil tentang HAM tidak serta merta dikeluarkan oleh pemerintah namun melakukan persetujuan dengan rakyat sipil. Alhasil, berbagai macam kebijakan dan aturan yang dikeluarkan berdampak pada reformasi negara ini.
Organisasi IER (Komisi Keadilan dan Rekonsiliasi), ADFM (Asosiasi Demokratisasi Perempuan Maroko), UAF (Serikat Aksi Perempuan), UU Keluarga, UU Anti penyiksaan, merupakan sedikit dari sekian banyak bentuk penegakan HAM di Maroko. Bahkan bentuk pluralisme yang ideal juga terlihat di Maroko, di mana setiap orang punya hak untuk mengamalkan agamanya serta terbentuknya UU melindungi tempat keagamaan dari kekerasan.
Akhir-akhir ini para aktivis HAM di negara itu menuntut agar kebiasaan bersujud di depan raja dan mencium tangan raja dihapuskan karena dianggap merendahkan derajat manusia dan itu merupakan bentuk perbudakan. Aturan untuk bersujud dan mencium tangan raja saat bertemu raja sudah dianggap tidak sesuai dengan alam kemoderenan. Aturannya sudah ketinggalan zaman karena lama semenjak Maroko mendeklarasikan kemerdekaan dari Prancis tahun 1956, khususnya setelah Raja Hasan II naik tahta.
Selain itu, kesetaraan gender juga dipandang sebagai hal penting di negara ini. Perempuan di negara ini semakin percaya diri dan menyadari akan hak-hak yang mereka miliki. Perempuan di negara ini juga tidak takut lagi dalam menyuarakan pendapatnya ataupun dalam membentuk sebuah organisasi.
Karenanya, mari kita coba berani “angkat tangan” dan hormat serta belajar pada pelaksanaan HAM di Maroko, tidak perlu risih dan malu. Maroko layak dijadikan contoh, mereka sadar bahwa sesungguhnya yang namanya HAM tidak sekadar berteriak, tapi harus difahami dari sisi hakikatnya, yakni mewujudkan dan memelihara keseimbangan. Keseimbangan antara hak dan kewajiban; keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum.
Sumber Bacaan:
Hamid, Shalahuddin. 2000, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam, Jakarta, Amissco. Harian Pagi (Berita), Fajar, April 2007.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2008. Laporan Tahunan 2007 KOMNAS HAM, Jakarta, KOMNAS HAM.
Lopa, Baharuddin, 1995. Hakikat HAM: Keseimbangan, (Artikel), Republika, Sabtu, 9 Desember.
______, 1994. Prospek Pelaksanaan HAM di Indonesia, (Artikel), Republika, Kamis, 8 September.
Rahardjo, Satjipto. 1993. Omong Besar tentang Hak Asasi, (Artikel), Republika, Jumat 11 Juni.
Ubaidillah, A. dkk., 2000. Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, Jakarta, IAIN Jakarta Perss.
http://www.eramuslim.com
http://www.commongroundnews.org
http://www.dw-world.de/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar